Kategori
Teknologi

Kacamata Suku Yupik Teknologi Bertahan Hidup di Kutub Utara

Binomedia.id Ribuan tahun lalu suku Inuit dan Yupik di Alaska, Kutub Utara, telah membuat kacamata pelindung silau salju yang dapat membutakan mata.

Seorang kurator Museum Nasional Indian Amerika dari Institut Smithsonian, Ann McMullen, telah mengamati kacamata buatan suku Inuit dan Yupik berteknologi kuno yang terbuat dari tulang binatang.

Kacamata suku Inuit dan Yupik, bahkan ada yang terbuat dari rumput laut dan kulit ikan.

Baca juga: PT Elnusa Tbk Perusahaan Penyedia Jasa Energi Kembali Mempertahankan ISO Series

“Di Alaska yang bersalju, jika Anda menghabiskan berjam-jam di bawah sinar matahari musim semi atau musim panas yang cerah, bisa beresiko mengalami kebutaan salju,” ungkapnya.

Kacamata suku Inuit dan Yupik itu, kata Ann McMullen, dapat melindungi dari sengatan matahari pada mata akibat pancaran sinar ultraviolet.

Masyarakat suku Inuit dan Yupik di seluruh wilayah telah memiliki kacamata salju yang terbuat dari potongan tulang, kayu atau bahan lain.

Baca juga: Keunggulan iPhone 14 dan iPhone 14 Plus, Kamu Wajib Tahu!

“Gaya kacamata ini bahkan dapat meningkatkan pengelihatan,” ujar Ann Fienup, seorang antropologi yang berbasis di Anchorage.

Ann Fienup menemukan kacamata suku Inuit dan Yupik sekira tahun 2010 lalu saat penelitian dibantu oleh warga suku Yapik.

Penelitian Ann Fienup dalam rangka persiapan pameran dan bukunya tentang budaya suku Yupik.

Baca juga: Indonesia sebagai Distributor Resmi Edifier Meluncurkan Earphone dan Headphone Unggulan

Ia sangat kaget dengan keunggulan kacamata suku Yupik yang dapat membuatnya kembali melihat setelah dirinya menjalani operasi retina di mata kanannya.

“Pengelihatan mata kanan saya masih cukup kabur,” katanya.

Tapi, saat dia mengangkat kacamata Yupik ke matanya? “Saya dapat melihat!”

Baca juga: BKKBN Melakukan Uji Coba Penggunaan Website Orang Tua Hebat Sebagai Inovasi

Apa yang sedang terjadi? Ternyata celah itu memfokuskan cahaya, seperti halnya kamera lubang jarum.

Hasilnya, objek yang jauh tampak lebih tajam dan pengelihatan jauh lebih baik.

Jauh sebelum lensa kacamata ditemukan, penduduk asli Alaska, termasuk orang Yupik, merancang sendiri kacamata korektif.

Baca juga: FIFA World Cup 2022: IndiHome dan Vidio Beri Paket Khusus

Phillip Moses, anggota suku di Teluk Toksook, menyebut mereka kacamata hitam adalah penemuan autentik suku Yupik.

Inovasi kacamata suku Yupik adalah bukti bakat teknik yang sangat luar biasa.

Orang-orang Yupik tidak memiliki kata asli untuk “sains”, tetapi mereka memiliki pemahaman tentang kacamata, biologi, dan kimia yang menggerakkan alam.

Mereka menggunakan bahan-bahan yang mudah ditemui. Misalnya, membuat alat dan pakaian untuk bertahan hidup di lingkungan yang dingin dan berbahaya.

Beberapa pria Yupik di Kutub Utara menyembelih walrus di atas gunung es. Mereka berdiri di samping umiak di Pulau St. Lawrence, Alaska. (foto binomedia.id/perpustakaan universitas alaska)

Selain kacamata buatan orang Yupik, sekira tahun 2022, Ann juga memukan kacamata buatan orang Inuit.

Kacamata buatan orang Inuit itu terbuat dari tulang dan kulit karibu, Igloolik, Nunavut, Kanada.

Diperkiran sejak tahun 1890, kacamata buatan masyarakat Kutub Utara itu terbuat dari balin dan otot ikan paus.

Baca juga: Dukung Industri Gaming Tanah Air, Bukalapak Akan Gelar Konvensi Gaming & NFT Terbesar di Indonesia

Tapi, kata Ann, kacamata buatan tahun 1910 berbeda dari sebelumnya. Orang Yupik mulai menggunakan rumput pantai dan manik-manik kaca.

Tak hanya membuat kacamata pelindung ultraviolet. Suku Yupik juga pandai membuat alat berburu.

Tempat tinggal yang hangat dipermukaan es membuat para peneliti keheranan: bagaimana mungkin masyarakat Yupik bertahan hidup di Kutub Utara yang dingin.

Baca juga: G20 Indonesia, Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) Menghadirkan Teknologi Ramah Lingkungan

Para peneliti bahkan tertarik dengan pakaian hangat buatan suku Inuit dan Yupik. Meski terlihat pakaian sederhana mereka lebih hangat dari jaket tebal yang dipajang di toko-toko mahal.

Para wanita Yupik membuat kaus kaki yang nyaman berbahan rumput. Rumput juga dibentuk menjadi serat yang sangat kuat sehingga dapat digunakan sebagai komponen tali kekang anjing.

Di museum American Indian terdapat jaket anak Yupik, terbuat dari kulit burung lembut yang dilapisi bulu—kerajinan yang indah.

Baca juga: ASUS Zenfone 9 Hadirkan Desain Ultra-Compact dengan Performa Flagship

Agar tetap hangat di dalam ruangan, mereka membuat Qasgi yaitu rancangan pintu rumah yang mengarah ke bawah berbentuk huruf U untuk menaikkan udara hangat dalam ruangan.

Agar di dalam ruangan tetap kering, mereka membuat lapisan tahan air dari kulit ikan semacam Gore Tex.

Mereka juga dikenal ahli mencari makan dalam kondisi bersalju. Saat berburu dan memancing, masyarakat Yupik selalu membawa tongkat kayu yang ujungnya ditempelkan pengait tulang (negcik).

Baca juga: Promo Top Up Mobile Legends di UniPin, Dapat Skin Epic

Negcik juga berfungsi sebagai pelindung senjata dari ancaman binatang buas seperti beruang.

“Nenek korban kami sangat pintar membuat alat berburu,” kata tetua Yupik, Willie Kamkoff, kepada seorang peneliti bernama Fienup Riordan.

Fienup Riordan dan kurator Museum Nasional Indian Amerika dari Institut Smithsonian, percaya bahwa masih banyak orang yang berburu dan memancing untuk menyimpan teknik-teknik penting.

Baca juga: Mesin Cuci Zeromatic Laguna Polytron Luncurkan

Namun, masalah baru muncul justru mengganggu pola musiman generasi lama, kata Fienup Riordan.

Beberapa tetua Yupik khawatir bahwa ketergantungan pada barang-barang Barat modern dan kehidupan perkotaan meredupkan ketergantungan pada tradisi kreatif.

Pail John, tetua Yupik lain yang tinggal di tempat yang sama mengatakan bahwa seseorang dapat melihat kecerdasan mereka melalui barang-barang mereka.

Baca juga: Sharp Raih 2 Penghargaan Bergengsi Dibidang Marketing

Di dunia yang semakin peduli dengan ketahanan lingkungan, teknologi Yupik adalah mercusuar berkelanjutan. Tidak ada yang terbuang percuma.

Dia menjelaskan bagaimana secara tradisional Anda merawatnya. “Bawa keluar dan pukul dengan tongkat,” katanya.

“Lautan tidak membeku seperti dulu,” kata Pail.

“Pembekuan nanti di musim gugur. Dan perpisahan jauh lebih awal di musim semi. Ini benar-benar luar biasa.”

Setelah ribuan tahun bertahan hidup di dunia subzero, orang-orang Yupik menghadapi tantangan teknik baru: beradaptasi dengan dunia yang lebih hangat.

Kategori
Infrastruktur

Atasi Sampah, Yogya Gerakan Biopori Berbasis Rumah Tangga

Binomedia.id – Atasi Sampah, Yogya Gerakan Biopori Berbasis Rumah Tangga. Forum Bank Sampah Kota Yogya menginisiasi pengelolaan sampah organik mandiri melalui gerakan pembuatan biopori berbasis rumah tangga.

Pembuatan biopori berbasis rumah tangga menjadi salah satu solusi mengatasi permasalahan sampah organik di Yogya.

Membuang sampah organik ke pengelolaan komunal masih dikeluhkan masyarakat karena dinilai jauh.

Ketua Forum Bank Sampah Kota Yogya, Aman Yuriadijaya, mengatakan pengelolaan sampah di Yogya selama ini berbasis komunal dan akan diubah menjadi penanganan sampah organik berbasis rumah tangga.

Baca juga: Wamendagri John Wempi Wetipo: Pemda Memiliki Peran Penting Dalam Mengembangkan Sistem Pengelolaan Sampah

“Salah satu metodenya dengan biopori berbasis rumah tangga,” katanya saat pelatihan kader biopori rumah tangga, di Kantor Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, Kamis (24/11/2022).

Menurut Aman, mengarahkan masyarakat untuk membiasakan memasukkan sampah organik ke biopori dapat menjadikan sampah terkelola dengan baik secara mandiri.

Pengelolaan sampah organik secara mandiri juga dapat mengurangi penumpukan sampah yang selama ini sering terjadi di Kota Yogya.

“Misalnya dalam satu RW ada biopori jumbo, ember tumpuk atau losida,” papar Aman.

Baca juga: Mengakhiri KTT G20 Indonesia Menteri PUPR Basuki Hadimuljono Perkuat Kerjasama Dengan MLIT dan JIAC

Aman menyebut Pemerintah Kota setempat menargetkan sampah yang diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) pada 2023 mendatang adalah zero sampah anorganik.

Perlu diketahui Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) di Piyungan, Bantul, terdiri dari 40 persen sampah anorganik dan 60 persen sampah organik.

Oleh sebab itu, sambung Aman, masyarakat wajib memilah dan menyalurkan ke bank sampah atau ke pelapak. Sedangkan volume sampah organik akan dikurangi melalui pengelolaan sampah.

“Langkah tersebut menjadi salah satu upaya mengurangi volume sampah organik di masyarakat,” terang Aman yang kini menjabat sebagai Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Yogyakarta.

Baca juga: Flyover Purwosari Selain Mengurai Kemacetan, Kolong Flyover Kini Jadi Ruang Publik Interaktif

Volume sampah di Yogya yang terus meningkat membutuhkan peran serta masyarakat agar persoalan sampah di Kota Miniatur Indonesia itu dapat teratasi.

“Dasar pengelolaan sampah itu terkait perilaku masyarakat. Memang tidak bisa langsung dan perlu tahapan sambil jalan, salah satunya dengan pelatihan ini,” kata Aman.

Pada kesempatan yang sama, Bank Indonesia Perwakilan DIY, melalui Program Sosialnya menyerahkan bantuan berupa pipa paralon dan peralatan untuk pembuatan biopori berbasis rumah tangga kepada bank sampah setingkat RW di Kota Yogya.

Atas bantuan tersebut pihaknya berterima kasih kepada Bank Indonesia Perwakilan DIY yang telah mendukung program pengelolaan sampah organik di Kota Yogya.

Baca juga: Menteri Basuki Hadimuljono Tinjau Pembangunan Bendungan Jlantah di Karanganyar

Gerakan biopori berbasis rumah tangga menjadi pilihan sebagai salah satu cara untuk mengurangi sampah organik.

Meski tidak semua rumah tangga di kota memiliki lahan untuk membuat lubang biopori. Namun, ada cara lain agar sampah organik bisa dikelola menggunakan metode ember tumpuk dan losida.

Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogya, Sugeng Darmanto, saat pelatihan di Kantor DLHK Kota Yogya.

Meski gerakan biopori berbasis rumah tangga dipilih agar pengurangan sampah organik bisa dekat dengan dapur rumah warga, namun, keberadaan biopori rumah tangga tidak bisa langsung berdampak terhadap jumlah pengurangan sampah organik.

Baca juga: Menteri PUPR Basuki Targetkan Tol Semarang-Demak Seksi II Dibuka Fungsional 18 November 2022

“Yang kita lihat adalah perubahan perilaku masyarakat. Dulu sampah organik rumah tangga hanya dibiarkan begitu saja. Tidak diapa-apakan,” ujarnya.

Menurut Sugeng Darmanto, jika satu rumah memiliki satu atau dua biopori, maka akan menjadi gerakan dan budaya yang berdampak luar biasa.

Pihaknya memastikan DLH Kota Yogya memberikan fasilitas biopori melalui dana APBD Kota Yogya tahun 2023 agar sampah organik dapat diolah menjadi pupuk organik.

Dengan begitu, kata Sugeng Darmanto, masyarakat juga dapat mengambil manfaatnya dengan memanen pupuk sampah organik.

Baca Juga: Jelang Diresmikan, Menteri PUPR Basuki Tinjau Masjid Raya Sheikh Zayed Surakarta

Perwakilan Bank Indonesia DIY, Septiara Silvana Putri, mengatakan Bank Indonesia sangat mendukung gerakan biopori berbasis rumah tangga.

Gerakan biopori berbasis rumah tangga menjadi isu Green Culture yang sedang mendunia.

“Untuk itu BI berkontribusi nyata melalui pemberian Program Sosial Bank Indonesia. Tujuannya membantu memecahkan permasalahan sosial ekonomi di masyarakat,” katanya.

Septiara Silvana Putri menyampaikan pihaknya menyambut baik adanya kolaborasi Forum Bank Sampah dan Pemerintah Kota Yogya melalui DLH.

Baca juga: Tandatangani Framework Agreement, Pemerintah Indonesia Siap Selenggarakan 10th WWF 2024 di Bali

Kolaborasi itu salah satunya membuat pupuk organik dari gerakan biopori bagian dari pengembangan pertanian terpadu.

“Semoga kegiatan seperti ini menginspirasi siapapun untuk peduli terhadap lingkungan dan sampah,” pungkasnya.

Kategori
Traveling

Raflesia Langka di Banyuwangi Terancam Punah

Binomedia.id – Bunga raflesia jenis tumbuhan holoparasit berkelopak tujuh mekar di Resort Sukamade kawasan Taman Nasional Meru Betiri, Banyuwangi,  Jawa Timur.

Bunga raflesia dari keluarga rafflesia zollingeriana ini berdiameter 40-50 cm, namun, tidak memiliki daun, batang dan akar.

Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Banyuwangi menyebut bunga raflesia ini tergolong sangat langka karena umumnya kelopak bunga raflesia hanya berjumlah lima.

Bunga raflesia ini diketahui tumbuh di Blok Parang Kulon (Pantai Barat) Resort Sukamade, Wilayah I Sarongan Banyuwangi.

Baca juga: Lion Air dan Wings Terus Meningkatkan Kualitas Maskapai Penerbangan Bertarif Rendah

“Holoparasit adalah tumbuhan yang sepenuhnya tergantung pada tumbuhan lain untuk kebutuhan makanannya,” ungkap salah satu juru bicara TNMB, Kamis.

Disebut holoparasit karena bunga raflesia ini tidak memiliki klorofil, namun, memiliki akar hisap atau haustorium.

Bunga raflesia ini merupakan jenis tanaman berinang liana tetrastigma lanceolarium dan tetrastigma papillosum.

Saat mekar sempurna, bunga raflesia akan selalu mengeluarkan aroma busuk menyerupai bau bangkai.

Baca juga: Batam Aero Technic (BAT): Perawatan Pesawat Udara Efisien dan Menyerap Tenaga Kerja 9.976 Orang

Uniknya, dalam tujuh hari bunga raflesia akan layu bersamaan dengan memudarnya bau busuk.

Di Indonesia terdapat 13 jenis raflesia dari 33 jenis bunga raflesia yang ada di dunia.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI nomor P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018/ bunga raflesia termasuk jenis tanaman dan tumbuhan yang dilindungi.

Juru bicara TNMB Pengendali Ekosistem Hutan TNMB, Alfia, berharap bunga raflesia langka berkelopak tujuh dapat dijaga dari kepunahan sehingga menambah khazanah flora di dunia.