Binomedia.id Jakarta – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Lembaga Sensor Film (LSF), Senin (3/6), menyelenggarakan Konferensi Pers Laporan Kinerja LSF 2023 dan Sosialisasi Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (ZI-WBK) di Lingkungan LSF. Acara digelar sebagai wadah penyebarluasan informasi secara masif mengenai berbagai capaian program yang sudah dilakukan oleh LSF dalam memaksimalkan kinerja sebagai sebuah lembaga independen.
Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto, mengatakan bahwa dalam memenuhi tuntutan Keterbukaan Informasi Publik, salah satu wujud nyatanya adalah LSF melaporkan kinerja dan program yang sudah dijalankan oleh selama periode Tahun 2023. “Tentang laporan kinerja, laporan ini disampaikan kepada publik dan DPR yang mengawasi dan bekerja sama. Kami komunikasikan dan publikasikan secara terbuka setiap tahun kepada masyarakat,” tuturnya di Jakarta. Masyarakat dapat mengakses informasi lebih lanjut tentang Laporan Kinerja LSF Tahun 2023 melalui laman https://lsf.go.id.
Adapun hasil dan capaian dari pelaksanaan kegiatan ini akan menjadi masukan atau input dalam pengembangan program Lembaga Sensor Film ke depannya. Selain itu, diharapkan masyarakat juga dapat memberikan umpan balik atas pelaporan yang telah disampaikan melalui kanal-kanal atau saluran yang sudah disediakan oleh LSF.
Selanjutnya, terkait ZI-WBK menurut Rommy, ia terus mendorong agar seluruh jajarannya berkinerja sejalan dengan semangat ZI-WBK. “Ini sudah diawali dari tahun-tahun sebelumnya di mana selama dua tahun berturut-turut penilaian Ombudsman tentang Standar Pelayan Publik untuk LSF terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2022, LSF berada di rangking ketiga dan tahun 2023 berada di peringkat kedua. Nilai ini membuktikan keseriusan LSF dalam melayani publik. Capaian ini pula yang menjadi modal dalam pencanangan ZI-WBK di LSF,” urai Rommy.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua LSF, Ervan Ismail mengatakan bahwa tugas LSF adalah melakukan penyensoran film dan mengedukasi masyarakat khususnya para pembuat film. “Hingga saat ini sudah 41 ribu tayangan yang disensor LSF baik tayangan bioskop, TV, maupun jaringan informatika,” sebutnya.
Film sebagai karya seni budaya memiliki peran yang strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin. Sebagai media komunikasi massa, film juga sangat berguna sebagai sarana untuk mencerdaskan bangsa, mengembangkan potensi diri, membentuk akhlak mulia dan juga sebagai sarana untuk promosi budaya.
Untuk memastikan bahwa film yang diedarkan untuk dikonsumsi masyarakat adalah film yang layak dan sesuai dengan budaya bangsa serta tidak mengandung unsur-unsur yang bisa merusak kehidupan berbangsa dan bernegara, maka perlu ada mekanisme sensor terhadap film yang akan diedarkan. Tujuannya agar masyarakat mendapatkan perlindungan dan hak untuk memperoleh film yang bermutu, khususnya perlindungan terhadap entitas anak dan perempuan serta peneguhan nilai-nilai hak asasi manusia.
Mekanisme penyensoran film merupakan mandat konstitusional sebagai dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, di mana setiap film yang akan diedarkan dan pertunjukkan wajib mendapatkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS). Penyensoran dilakukan melalui proses penilaian dan penelitian atas tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film dan LSF sebagai lembaga yang dimandatkan untuk melakukan penyensoran juga menetapkan klasifikasi usia penonton film.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, LSF tidak hanya bertanggung jawab menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Akan tetapi sebagai sebuah lembaga negara LSF juga bertanggung jawab menjalankan kewajiban memberikan informasi terkait kelembagaan kepada publik dan pemangku kepentingan khususnya perfilman. Di era digital yang menuntut kecepatan dan ketepatan informasi, LSF turut berkewajiban mewujudkan tuntutan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Ervan Ismail menjelaskan bahwa dalam melakukan penyensoran, LSF mengutamakan dialog dengan berbagai pihak terkait. Mulai dari produser, LSM, tim produksi film, dan lain-lain. “Dalam dialog tersebut seluruh pihak dimungkinkan untuk dapat saling bertukar pikiran pada posisi/kedudukan yang setara sehingga hasil sensor yang diputuskan juga berimbang,” jelasnya.
Lalu, dalam menjalankan peran edukasi, “Kami melakukan sosialisasi dan literasi kepada penonton dan film maker, kami merangkul banyak stakeholder. Kami meliterasi masyarakat agar menjadi penonton yang bisa memilih tontonan sesuai usianya. Selain itu, dengan pembuat film kami mengkaji regulasi perfilman yang sesuai dengan perkembangan zaman serta mendorong pembuatan film yang mengangkat pemajuan potensi (ragam kekayaan) Indonesia,” pungkasnya. (ren)
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Binomedia.id