binomedia.id – Jakarta. Kepatuhan (Compliance) serta Kepedulian (Care) memainkan peran yang sangat penting dalam pemulihan pasien Gangguan Bipolar (GB) dan Skizofrenia. Kepatuhan terhadap pengobatan ini bersifat krusial, dan berdampak langsung terhadap perbaikan kondisi pasien. Namun sayangnya, sampai saat ini di Indonesia, kepatuhan masih menjadi tantangan utama karena adanya stigma negatif pada penyakit dan kemunculan efek samping pada pengobatan. Di pihak lain, kepatuhan memerlukan adanya support system baik dari keluarga maupun lingkungan.
GB dan Skizofrenia merupakan dua jenis kesehatan mental yang berbeda. GB ditandai dengan perubahan suasana hati yang intens antara keadaan depresif yang mendalam dan juga episode mania. Sedangkan Skizofrenia biasanya ditandai oleh gangguan proses pikir, isi pikir dan persepsi psikosis yang dapat mencakup halusinasi, delusi, atau pikiran atau ucapan yang kacau.
Hanadi Setiarto, Country Group Head Wellesta CPI menyatakan, “Sebagai perusahaan yang fokus pada bidang kesehatan dan teknologi medis, Wellesta berkomitmen terhadap kesehatan dan kualitas hidup pasien, termasuk untuk pasien depresi dengan GB I dan Skizofrenia. Sangat penting meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat terkait kondisi penyakit mental yang terkadang tidak disadari. Kami menyadari, jika tidak diatasi dengan baik, kejadian depresi dengan GB I dan Skizofrenia akan terus bertambah sehingga ke depannya akan menurunkan kualitas hidup, peningkatan mortalitas dini, hingga berkontribusi pada penyakit fisik seperti kardiovaskular, metabolik, dan infeksi.”
“Untuk mewujudkan komitmen kami tersebut, kami bekerja sama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dalam membantu individu dengan GB I dan Skizofrenia. Kolaborasi ini diharapkan mampu meningkat awareness masyarakat sehingga mereka memahami gejala awal, memberikan dukungan kepada individu tersebut, dan ke depannya mereka mengetahui kepada siapa mencari bantuan yang tepat dan mencegah disabilitas jangka panjang,” jelas Hanadi.
Prof. Dr. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ, SubSp A.R. (K), MIMH, Guru Besar Psikiatri Subspesialis Anak dan Remaja FKUI-RSCM dalam presentasinya menyatakan, “Tantangan kesehatan mental seperti GB dan Skizofrenia, yang dulunya dianggap hanya menyerang orang dewasa, kini juga memengaruhi anak- anak dan remaja dengan tingkat yang mengkhawatirkan. Beberapa studi dan pengalaman di meja praktek memperlihatkan bahwa kasus yang muncul lebih awal atau early-onset terjadi di usia yang lebih muda, dan sering kali tidak terdiagnosis karena kurangnya kesadaran atau salah mengartikan gejala sebagai perilaku remaja yang umum. Kondisi kesehatan mental seperti ini bisa mengganggu perkembangan, pendidikan, dan hubungan remaja jika tidak diobati dengan tepat.”
“GB terjadi karena beberapa faktor risiko seperti genetik, lingkungan, neurobiologis, dan psikososial. Beberapa gejala yang bisa dikenali seperti episode mania atau suasana emosi mudah marah, episode depresi atau suasana sedih mendalam dan keinginan bunuh diri, dan campuran antara keduanya. Sedangkan Skizofrenia memiliki faktor risiko seperti genetik, perinatal atau komplikasi sejak lahir, lingkungan, dan neurodevelopmental atau kelainan struktur otak. Beberapa gejalanya seperti gejala positif (halusinasi, delusi), gejala negatif (kurang motivasi dan cenderung datar), dan disorganisasi (bicara tidak koheren dan perilaku tidak sesuai konteks),” jelas Prof. Tjhin.
Diagnosis dan intervensi dini sangat penting untuk meningkatkan hasil pengobatan, namun kompleksitas kasus yang muncul pada tahap awal sering kali menyebabkan keterlambatan deteksi dan penanganan. Prof. Tjhin kembali menerangkan, “Beberapa hambatan dan tantangan dalam penanganan GB dan Skizofrenia pada anak dan remaja mencakup: gejala yang bertumpang tindih dengan gejala dari gangguan mental lainnya seperti gejala ADHD, autisme, dll; kadang dianggap sebagai perilaku anak yang wajar padahal sudah menunjukkan tanda awal; hambatan komunikasi anak yang mungkin kurang mampu mengekspresikan apa yang dirasakan atau dipikirkan; kurangnya studi dan manajemen yang baku khusus untuk anak dan remaja; ketidakpatuhan terhadap pengobatan; hingga stigma orang tua dan masyarakat yang merasa gangguan mental masih tabu sehingga cenderung menyangkal atau menyembunyikan kondisi tersebut.”
Prof Tjhin kembali menjelaskan, bahwa GB ataupun Skizofrenia pada anak-anak dan remaja adalah kondisi kronis, “Namun, meskipun demikian dengan perawatan yang efektif seperti tatalaksana komprejensif yang tepat dan sesuai, tentu dapat membantu untuk mengatasi gejala, serta meningkatkan kualitas hidup anak dan remaja secara signifikan. Dengan penanganan yang tepat, anak dan remaja dapat belajar mengelola perubahan suasana perasaan mereka agar bisa menjadi pulih dan menjalani kehidupan yang tetap produktif di tengah masyarakat,” katanya.
“Oleh sebab itu, peran compliance atau kepatuhan dan berobat secara optimal dalam pemulihan pasien anak dan remaja dengan GB maupun Skizofrenia sangat krusial dan berdampak langsung terhadap prognosis jangka panjang, stabilitas kondisi, dan kualitas hidup. Mereka yang patuh umumnya jarang mengalami kekambuhan, bisa memperbaiki hubungan sosial, mengikuti pendidikan secara normal, dan lebih konsisten dalam menjalani tugas tanggung jawabnya sebagai anak atau remaja. Namun, tantangan utama dalam penanganan kasus-kasus GB dan Skizofrenia sampai saat ini adalah “kepatuhan berobat” dan “tatalaksana yang optimal” karena di Indonesia masih banyak orang yang takut terhadap stigma buruk, literasi kesehatan jiwa yang kurang, serta kekhawatiran pengaruh obat jangka panjang terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak dan remaja,” jelas Prof. Tjhin.
Prof. Tjhin menambahkan, “Keluarga dan lingkungan sekitar, atau disebut sebagai support system, memiliki peran penting bagi anak dan remaja dengan GB dan Skizofrenia. Dukungan tersebut berdampak langsung pada stabilisasi emosi dan penguatan psikologis yang bermakna, meningkatkan kepatuhan pengobatan, membantu mengurangi stigma negatif dan isolasi sosial, serta mendorong pemulihan sosial dan fungsi akademik anak dan remaja. Oleh sebab itu, keluarga dan lingkungan sekitar sebagai support system yang pertama, harus mau memperluas pengetahuan dan pemahaman yaitu terus belajar terkait dengan GB dan Skizofrenia pada anak dan remaja, mau terlibat langsung dalam menejemen tatalakasana, dan penjadi pengingat agar anak dan remaja bisa berobat dengan teratur, mengonsumsi obat sesuai dengan aturan yang diberikan, dan menjalani terapi psikososial secara rutin. Begitu pula dengan lingkungan sekitarnya. Intinya, penganangannya memang perlu pendekatan eklektik, holistik, dan multidisiplin.
Pada kesempatan yang sama, Dr. dr. Khamelia Malik, SpKJ(K), Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa FKUI- RSCM menjelaskan, “Mirip dengan kondisi pada anak dan remaja, GB dan Skizofrenia pada orang dewasa tentunya akan menurunkan kualitas hidup mereka. GB pada orang dewasa juga ditandai dengan perubahan ekstrem pada suasana perasaan atau mood, energi, dan tingkat aktivitas, yang sering kali bergantian antara periode mania (atau hipomania) dan depresi atau campuran keduanya. Perubahan suasana hati ini dapat berdampak signifikan pada kemampuan seseorang untuk menjalani kehidupan sehari-hari, pekerjaan, dan relasi sosial mereka. Orang dengan Skizofrenia (ODS) juga demikian, pada usia dewasa biasanya mulai muncul antara akhir masa remaja hingga awal usia 30-an, dengan gejala yang bisa meliputi halusinasi, waham atau delusi, dan perubahan perilaku yang tentunya mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan.”
Insidensi GB dan Skizofrenia pada usia dewasa jauh lebih banyak dan lebih disoroti dibandingkan pasien anak dan remaja. Namun pada kenyataannya, meskipun angkanya lebih besar pada usia dewasa, masih banyak pasien dewasa yang sudah didiagnosa dan paham terhadap penyakitnya namun terkendala dalam menjalani terapi jangka panjang sehingga tidak patuh dalam pengobatan. “Di Indonesia, bisa dikatakan ketidakpatuhan terhadap pengobatan merupakan hal yang umum terjadi pada GB dan Skizofrenia, padahal hal ini diketahui dapat meningkatkan risiko hasil klinis yang buruk. Hal ini merupakan masalah terbesar yang perlu diatasi bidang kejiwaan dan penyakit-penyakit kronis lainnya. Beberapa studi menunjukkan bahwa ketidakpatuhan pengobatan tetap menjadi perhatian penting dalam pengobatan gangguan GB dan Skizofrenia,” jelasnya.
“Pada akhirnya, ketidakpatuhan akan memunculkan konsekuensi yang sangat besar khususnya bagi orang dewasa. Pada GB, ketidakpatuhan dikaitkan dengan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi, peningkatan rawat inap, dan risiko bunuh diri yang lebih besar. Untuk Skizofrenia, ketidakpatuhan tidak hanya memperburuk gejala psikotik tetapi juga meningkatkan risiko menyakiti diri sendiri dan orang lain. Temuan ini menyoroti pentingnya kepatuhan terhadap pengobatan untuk mencegah penyulit penyerta dan meningkatkan kualitas hidup bagi individu,” jelas Dr. Khamelia.
Pasien dewasa GB dan Skizofrenia tetap mampu melakukan kegiatan yang produktif serta memiliki kualitas hidup yang baik asalkan mau menjalankan pengobatan dengan konsisten. “Optimal dalam kepatuhan terapi dikaitkan secara signifikan dengan kualitas hidup yang lebih tinggi. Biasanya mereka kurang patuh karena tilikan yang buruk terhadap sakitnya, munculnya efek samping, fluktuasi mood, dan stigma buruk. Terkait efek samping khususnya, masih menjadi tantangan juga di praktik klinis sehari hari. Terkadang mereka mengalami efek seperti mengantuk berat sedasi, kenaikan berat badan, dan masalah gerakan tubuh sehingga mereka sulit untuk patuh. Padahal saat ini ada obat-obat inovatif yang meminimalkan efek samping seperti itu,” kata Dr. Khamelia.
Ia juga menambahkan, selain dari kepatuhan, pasien dewasa GB dan Skizofrenia tetap bisa beraktivitas produktif jika fokus terhadap strategi coping yang adaptif, seperti mencari dukungan dan belajar strategi memecahkan masalah, pelatihan manajemen stress, dll. Berikutnya, bisa aktif melakukan terapi psikososial seperti edukasi terhadap penyakit, skrining rutin terhadap kemunculan ide untuk bunuh diri, juga bisa menggunakan teknologi seperti aplikasi untuk pemantauan mood, kualitas tidur, reminder obat, dan psikoterapi agar selalu stabil. Dengan begitu, pasien dewasa akan bisa menjalani aktivitas dengan lebih baik,” jelasnya.
Untuk keberhasilan pengobatan, bergantung juga pada dukungan keluarga dan lingkungan. “Psikoedukasi pada keluarga dan lingkungan dapat membantu keluarga memahami dan mendukung orang yang mereka cintai dengan lebih baik. Dukungan ini berfungsi untuk meningkatkan harapan dan mendukung kemampuan pasien, pemberdayaan pribadi, dan inklusi di lingkungan sosial,” tutupnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Binomedia.id